
Kudus, SalokuNews. SMA Negeri 1 Jekulo menyelenggarakan Penyuluhan dan deteksi dini kesehatan jiwa serta penyalahgunaan NAPZA, Senin (29/9/2025). Di ruang Multi Media SMA Negeri 1 Jekulo, sekitar 90 murid yang berasal dari 3 perwakilan setiap kelas mengikuti kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran siswa terhadap pentingnya kesehatan jiwa serta bahaya penyalahgunaan NAPZA.Kepala SMA Negeri 1 Jekulo, Lasmin S.Pd, MPd dalam sambutannya memaparkan peran sekolah dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada pelajar. Lasmin menjelaskan bahwa penyuluhan tersebut merupakan salah satu dari berbagai strategi pencegahan penyalahgunaan NAPZA di SMA Negeri 1 Jekulo. Upaya ini diperkuat dengan kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Penguatan karakter juga dilakukan melalui OSIS, Pramuka, dan kegiatan ekstrakurikuler positif lainnya. Selain itu, sekolah menerapkan sistem pengawasan dan pendampingan siswa agar potensi penyimpangan dapat terdeteksi lebih awal.
Hal ini dilakukan karena pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan tanggung jawab bersama. Sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter siswa sekaligus memberikan edukasi tentang bahaya NAPZA. Dari segi fisik, pengguna dapat mengalami gangguan kesehatan hingga kerusakan organ tubuh. Secara psikis, penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Sementara dari sisi sosial, dampaknya antara lain prestasi belajar menurun, putus sekolah, dan munculnya tindakan kriminal.
Lasmin menekankan dampak-dampak tersebut menjadi alasan pentingnya pencegahan sejak dini melalui peran sekolah, keluarga, dan lingkungan sekitar. Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA, sekolah memiliki beberapa peran penting diantaranya tempat penanaman nilai-nilai agama, moral, dan etika agar murid memiliki dasar karakter yang kuat. Untuk itu, SMA Negeri 1 Jekulo memberikan pendidikan tentang kesehatan dan bahaya NAPZA secara langsung agar murid-murid memahami risikonya sejak dini.
Pembentukan tim konseling atau Bimbingan Konseling (BK) juga menjadi faktor penting dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Mereka berfungsi sebagai teladan positif bagi murid, sekaligus membimbing dan mendampingi murid yang menghadapi masalah. Tim ini berfungsi sebagai tempat curhat dan solusi ketika murid menghadapi masalah pribadi, keluarga, atau pergaulan, sehingga mereka tidak mencari pelarian yang salah. Deteksi dini terhadap perilaku berisiko menjadi tugas penting, agar langkah penanganan dapat segera dilakukan. Jika diperlukan, guru atau BK dapat memberikan rujukan kepada pihak yang lebih berwenang atau profesional
Lingkungan belajar yang aman dan positif juga menjadi faktor pendukung pencegahan. Sekolah dapat mengembangkannya melalui kegiatan ekstrakurikuler yang sehat dan bermanfaat, sehingga siswa memiliki wadah untuk menyalurkan minat dan energinya secara positif.
Dengan kerja sama antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan lembaga terkait, generasi muda dapat lebih terlindungi dari risiko penyalahgunaan NAPZA. Peran orang tua dan masyarakat juga sangat menentukan dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Beberapa faktor dapat memicu penyalahgunaan NAPZA pada remaja, antara lain rasa ingin tahu yang tinggi, tekanan pergaulan (peer pressure), kondisi keluarga yang kurang harmonis, serta minimnya pengawasan dan pendidikan mengenai bahaya NAPZA. Hal ini berarti bahwa orang tua perlu membangun komunikasi yang baik dengan anak, memberikan pengawasan yang cukup, serta menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang di rumah.
Di lingkungan masyarakat, diperlukan upaya untuk menciptakan suasana yang sehat dan bebas dari peredaran narkoba. Selain itu, kerja sama dengan lembaga terkait seperti BNN, kepolisian, dan dinas kesehatan menjadi bagian penting agar pencegahan dan penanganan dapat berjalan lebih efektif.
Pertolongan pertama psikologis
Sementara itu, Maria Renny K., S.Psi., M.Psi., Psikolog, CH, CHT memaparkan materi Memahami psychological first aid (PFA): pertolongan pertama pada puka psikologis (remaja dan kesehatan jiwa). Menurut Maria, pertolongan pertama psikologis (PFA) merupakan rangkaian tindakan yang diberikan kepada seseorang untuk menguatkan kondisi psikisnya ketika menghadapi peristiwa traumatis. Peristiwa traumatis ini bisa berupa bencana alam, kekerasan seksual, hingga kematian orang tercinta. Orang yang memberikan PFA disebut first aider atau penolong pertama, sedangkan orang yang menerima pertolongan disebut helpee.
PFA bertujuan memberikan dukungan segera untuk menenangkan, mengurangi stres dan kecemasan, serta membantu seseorang yang mengalami trauma agar merasa lebih aman, terhubung dengan orang lain, dan mampu mengatasi kesulitan setelah kejadian traumatis atau bencana.
Pentingnya penerapan PFA sejak dini bagi remaja, karena banyaknya anak-anak yang mengalami gangguan jiwa. Data menunjukkan bahwa 1 dari 8 anak di dunia mengalami gangguan jiwa, sementara di Indonesia sekitar 15,5 juta remaja berusia 10–17 tahun menghadapi masalah kesehatan jiwa.
Maria menjelaskan bahwa guru dan staf sekolah merupakan kandidat untuk memberikan bantuan PFA karena kedekatan mereka dengan murid dan lingkungan sekolah. Demikian pula murid yang telah menerima pelatihan pertolongan pertama psikologis dapat ikut berpartisipasi memberikan bantuan PFA. Dengan kata lain, siapapa pun yang telah dilatih dan memahami prinsip-prinsip PFA berpotensi menjadi first aider.
Menurut Maria gangguan jiwa dapat dipicu oleh berbagai faktor risiko yang menurunkan kondisi kesehatan mental seseorang. Dari sisi individu, meliputi temperamen atau kepribadian yang sulit bergaul, rendahnya rasa percaya diri, IQ rendah atau gangguan belajar, sifat impulsif, kemampuan sosial yang rendah, dan spiritualitas yang lemah. Dari sisi komunitas, risiko muncul akibat adanya role model yang buruk, penolakan dari teman sebaya, diskriminasi sosial, dan status sosial-ekonomi rendah termasuk keterbatasan akses kesehatan, serta lingkungan yang penuh kekerasan.
Sementara dari sisi keluarga, gangguan jiwa dapat timbul akibat konflik antar orang tua, kejadian negatif signifikan seperti kehilangan, trauma, pelecehan, atau penyakit kronis, disfungsi keluarga, pendisiplinan yang tidak konsisten, kurangnya kehangatan dan kasih sayang dari orang tua, serta orang tua yang mengalami gangguan jiwa.
Faktor-faktor tersebut sering saling berkaitan dan meningkatkan risiko gangguan jiwa apabila tidak mendapat perhatian dan penanganan sejak dini. Beberapa gangguan jiwa yang sering dijumpai pada remaja antara lain depresi dan gangguan kecemasan. Pada remaja dengan depresi, biasanya terlihat suasana hati yang negatif, kehilangan minat pada aktivitas yang biasa disukai, perasaan bersalah atau tidak berharga, kesulitan berkonsentrasi, kehilangan selera makan, serta berkurangnya kemampuan merasakan kesenangan.
Sementara itu, gangguan kecemasan ditandai dengan perasaan khawatir yang berlebihan hampir sepanjang waktu, sulit menenangkan diri, pikiran yang sulit dikendalikan, kelelahan mudah, kesulitan berkonsentrasi, ketegangan otot, serta gangguan tidur. Gangguan-gangguan ini dapat mempengaruhi fungsi sosial, akademik, dan emosional remaja jika tidak ditangani sejak dini.
Deteksi dini gangguan jiwa
Gangguan jiwa pada remaja dapat dikenali melalui beberapa tanda pada perasaan, pikiran, perilaku, dan fisik. Dari sisi perasaan, gejalanya meliputi sedih berkepanjangan, mudah tersinggung, sering merasa khawatir atau cemas, perasaan tidak pasti, mudah menangis, serta ketakutan terhadap banyak hal. Dari sisi pikiran, terlihat adanya pikiran tidak berdaya, curiga berlebihan, sering mengkritik diri sendiri, sulit berkonsentrasi, dan hilangnya motivasi.
Pada aspek perilaku, tanda-tanda yang tampak antara lain enggan bersosialisasi atau bermain dengan teman, tidak mau melakukan aktivitas yang sebelumnya disukai, sering bolos sekolah, banyak berkelahi, melukai diri sendiri, serta mengonsumsi obat terlarang atau alkohol ketika menghadapi masalah. Dari sisi fisik, gangguan jiwa dapat ditandai dengan tubuh lelah dan tidak berenergi, gangguan makan (hilang nafsu makan atau makan berlebihan), gangguan tidur (tidak bisa tidur atau tidur terlalu lama), sakit kepala dan nyeri otot, serta gangguan lambung atau pencernaan.
Tindakan P3LP (Psychological First Aid / Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis) didasarkan pada beberapa prinsip utama. Pertama, mengamati situasi untuk mengidentifikasi siapa yang membutuhkan bantuan dan jenis dukungan yang diperlukan. Kedua memberikan perhatian penuh dan empati kepada orang yang berbicara tanpa menghakimi, sehingga helpee merasa didengar dan didukung. Ketiga membantu helpee untuk mendapatkan bantuan lanjutan yang diperlukan, baik dari tenaga profesional kesehatan jiwa seperti psikolog, dokter, atau psikiater.
Narasumber ketiga, Darsono, S.KM, MM menyampaikan materi NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif). NAPZA adalah zat-zat yang dapat memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Dari perspektif psikologi, NAPZA dapat memengaruhi proses kognitif, emosi, dan perilaku individu.
Penggunaan NAPZA dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari sisi lingkungan, tekanan sosial dan kondisi keluarga dapat meningkatkan risiko penggunaan. Dari sisi psikologis, stres dan depresi menjadi pemicu yang signifikan. Sedangkan faktor biologis meliputi faktor genetik dan kondisi neurokimia individu yang dapat memengaruhi kecenderungan penggunaan NAPZA.
Dampak psikologis dari penggunaan NAPZA antara lain ketergantungan, baik fisik maupun psikologis, sehingga sulit bagi penggunanya untuk berhenti. NAPZA juga dapat menimbulkan perubahan emosi, sehingga individu mengalami mood yang ekstrem dan tidak stabil serta kerusakan kognitif, yang berdampak pada kemampuan memori, konsentrasi, dan pengambilan keputusan.
Materi pencegahan NAPZA dengan judul Remaja sehat, cerdas dan tanpa narkoba dipaparkan Din Amalia, S.KM. Upaya pencegahan narkoba dapat dilakukan dengan mengatakan “TIDAK” secara tegas, memilih teman yang positif, mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat, dan selalu dekat dengan orang tua atau guru. Selain itu, sekolah dapat membentuk tim anti narkoba, mengaktifkan Satgas Anti Narkoba, menciptakan lingkungan bersih dari narkoba, melaporkan peredaran narkoba di lingkungan sekolah, menyampaikan pesan-pesan anti narkoba dalam setiap kegiatan, serta membantu teman yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba.
Kegiatan ditutup pengumpulan kertas skrining yang telah diisi peserta penyuluhan. Hal ini sekaligus menjadi bagian dari deteksi dini untuk mengetahui potensi risiko gangguan jiwa atau penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Dengan kegiatan ini, diharapkan generasi muda lebih sadar akan kesehatan jiwa dan mampu menjauhi NAPZA sejak dini.(WI,KT)




